29 Oktober 2007

Pembangunan Wilayah Perbatasan dalam Perspektif Keamanan Nasional

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar dan terluas di dunia yang terdiri dari lautan dan pulau-pulau besar maupun kecil yang berjumlah ± 17.506 pulau dan mempunyai garis pantai sepanjang 81.290 Km dengan luas wilayah sekitar 7,7 juta Km2. Secara demikian, Indonesia mempunyai wilayah perbatasan negara yang panjang serta mempunyai peranan dan nilai strategis dalam mendukung tegaknya kedaulatan negara, sehingga pemerintah negara dan segenap komponen masyarakat Indonesia wajib memperhatikan kesejahteraan dan keamanan nasional di wilayah tersebut. Wilayah daratan Indonesia berbatasan langsung dengan negara Malaysia di pulau Kalimantan, Papua Nugini di pulau Papua dan Timor Leste di pulau Timor dengan karakteristik berbeda-beda dilihat dari segi kondisi geografis, demografis, sosial, politik ekonomi dan budaya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste. Wilayah perbatasan laut pada umumnya ditandai oleh pulau-pulau terluar yang hingga kini beberapa diantaranya masih perlu pengelolaan yang lebih intensif karena masih terdapat kecenderungan terjadinya berbagai permasalahan dengan negara-negara tetangga. Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi serta keamanan yang masih sangat terbatas.

Beberapa permasalahan yang dihadapi wilayah perbatasan negara antara lain: Pertama, banyak belum tuntasnya kesepakatan perbatasan antarnegara, kerusakan tanda-tanda fisik perbatasan dan belum tersosialisasinya secara baik batas negara kepada aparat pemerintah dan masyarakat. Kedua, kesenjangan kesejahteraan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial di wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga maupun wilayah sekitarnya, sehingga masyarakatnya menjadi seolah-olah terpinggirkan. Ketiga, luas dan jauhnya wilayah perbatasan dari pusat pemerintahan Provinsi dan Kabupaten; keterbatasan aksesibilitas yang mengakibatkan sulitnya dilakukan pengawasan dan pengamanan; Keempat, penyebaran penduduk yang tidak merata dengan kualitas SDM yang rendah. Kondisi ini diperparah dengan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali khususnya hutan secara legal maupun ilegal yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup disekitarnya. Demikian pula dengan kurang terkendali serta lemahnya sistem informasi dan komunikasi. Bahkan lemahnya penegakkan hukum serta kesenjangan ekonomi antarwilayah tersebut telah mendorong terjadinya kegiatan ilegal di wilayah perbatasan seperti perdagangan illegal (illegal trading), lintas batas ilegal, perdagangan manusia (human traficking), penambangan illegal, penebangan hutan ilegal (illegal logging) dan kejahatan transnasional (transnational crimes) lainnya menjadi kasus-kasus keamanan yang terjadi hampir di seluruh wilayah perbatasan. Selain itu, sebagai dampak dari kedudukannya sebagai pintu masuk dan keluar arus sumber daya ekonomi antarnegara, maka wilayah perbatasan pun rawan terhadap infiltrasi asing dan tempat persembunyian kelompok separatis.

Kondisi ini menjadikan wilayah perbatasan memiliki potensi kerawanan baik internal maupun eksternal. Dari aspek internal, masyarakat perbatasan yang terpencil, miskin dan terpinggirkan akan memiliki kesadaran atau wawasan kebangsaan yang rendah serta tidak dapat diandalkan sebagai pilar keamanan, yang akhirnya dapat membahayakan eksistensi negara. Dari aspek eksternal, wilayah perbatasan merupakan wilayah terbuka bagi pihak luar untuk masuk ke wilayah Indonesia maupun bagi warga negara Indonesia untuk ke luar, sehingga apabila wilayah perbatasan tidak diamankan secara baik, dapat membahayakan kedaulatan Indonesia. Untuk itu, kesadaran akan adanya persepsi wilayah perbatasan antarnegara telah mendorong para perumus kebijakan untuk mengembangkan kajian penataan wilayah perbatasan dilengkapi dengan rumusan sistem keamanan nasionalnya. Hal ini menjadi isu strategis karena penataan wilayah perbatasan terkait dengan proses pembangunan bangsa (nation building) terhadap munculnya potensi konflik internal dalam negara maupun dengan negara tetangga.

Paradigma wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara belum diwujudkan secara optimal, sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi Indonesia. Keadaan ini mengesankan bahwa komitmen pemerintah pusat maupun daerah dalam membangun wilayah perbatasan masih rendah. Pada dasarnya pengembangan wilayah perbatasan telah dilakukan oleh berbagai instansi, namun sifatnya masih parsial dan belum komprehensif sebagai suatu kebijakan, sehingga mengakibatkan kurang sinkronnya kebijakan, baik tataran strategis maupun operasional. Di sisi lain pengembangan wilayah perbatasan memiliki potensi strategis ditinjau dari perspektif keamanan nasional.


Perspektif Keamanan Nasional
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, konsep keamanan diartikan sebagai upaya mempertahankan negara secara militer (military security), dalam rangka mempertahankan teritori, keamanan negara, maupun institusi-institusi kenegaraan (state security). Dalam mengkaji keamanan nasional (national security) terdapat banyak perspektif tentang cakupan objek keamanan nasional yang secara garis besar dapat dilihat dari dua paradigma, yaitu realis dan pluralis. Paradigma realis meyakini bahwa negara (state) merupakan aktor penting dalam hubungan internasional, di mana negara-negara saling memperjuangkan kepentingan nasionalnya dan hubungan antarnegara merupakan bentuk struggle for power. Selain realis klasik terdapat juga paradigma neo-realis sebagai sebuah pemikiran realis kontemporer,[1] dengan asumsi-asumsi yang mereka kemukakan antara lain: sistem internasional bersifat anarki, yaitu tidak adanya otoritas terpusat yang mampu mengendalikan perilaku negara-negara di dunia, dan bahwa dunia adalah ajang pertarungan; negara mempertahankan kedaulatannya dengan jalan mengembangkan kapabilitas militer untuk pertahanan dirinya dan memperbesar power-nya; hubungan antarnegara berada pada posisi siap siaga dikarenakan rendahnya tingkat kepercayaan mereka terhadap negara lain. Saling kecurigaan yang manandai hubungan ini menyebabkan negara-negara hanya memiliki satu pilihan strategis, yakni memperkuat diri dengan senjata (kekuatan militer); negara menjadi satu-satunya institusi yang bertanggung jawab atas keamanan nasional. Kecenderungan ini disebabkan oleh sejarah pembentukan negara-bangsa, penempatan kewilayahan (territory) sebagai pijakan kedaulatan, dan militer sebagai kekuatan utama.

Permasalahan penting yang kemudian muncul dari paradigma realis tentang keamanan nasional lebih banyak bukan disebabkan oleh orientasi mereka pada ancaman militer yang berasal dari luar, melainkan lebih pada kedudukan sentral negara dalam seluruh pewacanaan masalah keamanan nasional dan penggunaan kekuatan bersenjata sebagai instrumen paling penting untuk menjawab masalah keamanan nasional. Berbagai kejadian perang dan konflik bersenjata merupakan sebuah pembuktian bagaimana negara-negara di dunia percaya bahwa peningkatan kekuatan pertahanan militer menjadi satu-satunya cara paling efektif untuk melindungi keamanan nasional. Namun perhatian terhadap keamanan nasional berdasar paradigma realis ternyata mengalami pergeseran terutama ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin, di mana pada masa setelah Perang Dingin negara-negara di dunia tidak banyak lagi menggunakan kapabilitas militernya sebagai kekuatan utama penjaga keamanan nasionalnya. Ancaman yang datang lebih banyak bukan berasal dari aktor negara lewat agresi militernya. Maka kemudian keamanan nasional yang dianut kaum realis ini sering disebut sebagai “konsep keamanan nasional tradisional”. Alternatif bagi konsep keamanan tradisional pasca Perang Dingin salah satunya banyak dikemukanan oleh kaum pluralis.

Paradigma pluralis (termasuk di dalamnya liberalis dan konstruktivis) muncul sebagai reaksi terhadap dominasi paradigma realis. Pluralis meyakini bahwa negara bukan sebagai satu-satunya aktor dalam hubungan negara, bahwa aktor non-negara juga berperan sentral dalam hubungan internasional yang akhirnya membawa implikasi pada konsep keamanan nasional. Bagi paradigma ini, negara seharusnya tidak menjadi pusat analisis dari keamanan nasional, karena mereka bukan hanya sebagai aktor penjaga keamanan nasional tetapi juga menjadi bagian dari penyebab ketidakamanan nasional dan ketidakamanan dalam sistem internasional. Berdasar pada pandangan itulah maka perhatian tentang keamanan nasional harus difokuskan pada individu ketimbang pada negara saja. Menurut Booth dan Wyn Jones, keamanan nasional paling tepat dikaji melalui konsep emansipasi manusia (human emancipation), yaitu kebebasan manusia sebagai individu, kelompok dari ancaman sosial, fisik, ekonomi, politik dan halangan-halangan lain terhadap hak-hak mereka.[2]

Konsep keamanan kontemporer juga terkait dengan arus globalisasi yang tidak lagi memandang batas-batas negara sebagai halangan bagi masuknya berbagai ancaman terhadap keamanan nasional. Implikasi dari globalisasi adalah perhatian yang cukup besar pada isu-isu ketidakpersamaan global (global inequality), kemiskinan, permasalahan lingkungan, hak asasi manusia, hak-hak kaum minoritas, demokrasi, serta keamanan individu dan sosial. Menurut Ian Clark apa yang dibawa oleh globalisasi dalam memandang keamanan adalah perhatian terhadap pembangunan sistemik yang menyebar tanpa memerlukan peran negara, sehingga konsep keamanan perlu direkonseptualisasikan pada lingkup individu dan sosial sebagai alternatif dari negara, sementara negara tetap diperlukan guna menjaga identitas sosial dan hak-hak asasi manusia yang hidup didalamnya.[3]

Pendapat lain mengenai keamanan kontemporer menurut Barry Buzan[4] dapat dibagi menjadi lima dimensi, yaitu:
a. Militer. Munculnya kapabilitas militer dari suatu negara baik konvensional maupun non-konvensional, dalam strategi menyerang atau bertahan, persepsi ancaman militer dari negara terhadap negara lain;
b. Politik. Perhatian terhadap permasalahan stabilitas insitusi-institusi negara, proses politik, sistem pemerintahan, dan ideologi sebagai legitimasi aktivitas mereka;
c. Ekonomi. Masalah akses terhadap sumber daya-sumber daya, finansial, dan pasar guna mempertahankan kemakmuran dan kekuatan negara;
d. Sosial. Perhatian terhadap keberlanjutan dan penerimaan masyarakat sosial terhadap perubahan-perubahan sosial, termasuk pola-pola bahasa, budaya, kebiasaan, dan identitas nasional, di mana perubahan ini akan berdampak pada perilaku negara tersebut terutama dalam dunia internasional.
e. Lingkungan. Memperhatikan masalah pemeliharaan lingkungan hidup sebagai sebuah sistem dimana manusia sangat tergantung kepadanya.
Seiring dengan konsep baru tentang keamanan maka bergeser pula pandangan tentang ancaman terhadap keamanan, terutama keamanan nasional. Ancaman utama terhadap keamanan bukan lagi apa yang dipercaya oleh kaum realis datang dari kekuatan militer dari negara-negara lain, tetapi ancaman yang sifatnya non-militer maupun militer yang berasal dari aktor non-negara. Seperti yang dinyatakan Buzan bahwa: Threats and vulneralibilities can arise in many different areas, military and non-military, but to count as security issue, they have to meet strictly defined criteria that distinguish them from the normal run of the merely political. They have to be staged as existential threats to a referent object by securitizing actor who thereby generate endorsement of emergency measures beyond rules that whould otherwise bind. [5]

Kemudian Buzan[6] membuat lima kategori ancaman berdasarkan sektornya terhadap keamanan nasional, yaitu:
a. Ancaman militer. Secara tradisional ancaman militer merupakan prioritas tertinggi yang menjadi perhatian dari keamanan nasional, hal ini dikarenakan ancaman militer dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang dapat memusnahkan apa yang telah di capai oleh manusia. Ancaman militer juga tidak hanya bersifat langsung, tetapi juga dapat tidak langsung ditujukan kepada negara itu, tetapi lebih kepada kepentingan-kepentingan eksternal yang ditujukan kepada negara itu.
b. Ancaman politik. Ancaman ini ditujukan kepada stabilitas kinerja institusi negara. Tujuan mereka cukup luas, dari mulai menekan pemerintah lewat kebijakan-kebijakan tertentu, penggulingan pemerintahan, menggerakan kekacauan. Target dari ancaman politik ini adalah nilai-nilai negara, terutama identitas nasional, idiologi, dan beberpa institusi yang berurusan dengan ini. Ancaman politik juga dapat bersifat struktural, yang secara spesifik muncul ketika terjadi bentrokan antara dua kelompok besar dalam negara dengan pemikiran yang berbeda.
c. Ancaman sosietal. Ancaman sosial terhadap keamanan nasional biasanya datang dari dalam negeri. Keamanan sosial ialah mengenai ancaman terhadap keberlanjutan dari perubahan nilai, budaya, kebiasaan, identitas etnik. Masih menurut Buzan, ancaman sosietal dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yang secara mendasar yaitu: ancaman fisik (kematian, kesakitan), ancaman ekonomi (pengrusakan hak milik, terbatasnya akses lapangan kerja), ancaman terhadap hak-hak (pembatasan hak-hak kebebasan sipil), dan ancaman terhadap posisi atau status (penurunan pangkat, penghinaan di depan publik).
d. Ancaman ekonomi. Masalah utama dari ide tentang keamanan ekonomi adalah berlangsungnya kondisi normal dari aktor-aktor pelaku pasar tanpa gangguan persaingan tidak sehat dan ketidakpastian. Ancaman ekonomi juga mengkaji masalah pengangguran, kemiskinan, keterbatasan terhadap sumber daya, dan daya beli rakyat.
e. Ancaman ekologi. Merupakan ancaman dari bencana alam seperti banjir, longsor, hujan badai, gempa bumi. Namun yang menjadi isu sentral keamanan ekologi adalah masalah aktivitas manusia yang merusak lingkungan seperti pemanasan global, efek rumah kaca, banjir, eksplorasi sumber daya alam secara besar-besaran dan terus menerus.

Kerangka anilisis ini memperlihatkan pergantian yang cukup berarti dari pemikiran tradisionalis tentang konsep keamanan yang sempit, terutama ketika keamanan membawa isu-isu non-militer sebagai fokus kajiannya. Banyaknya dimensi keamanan nasional membawa konseptualisasi tentang keamanan komprehensif (comprehensive security). Pandangan yang berpijak dari anggapan bahwa keamanan nasional sebagai sesuatu yang bersifat komprehensif percaya bahwa keamanan nasional terdiri dari bukan hanya ancaman yang berdimensi militer, tetapi juga yang berdimensi non-militer. Selain itu, lingkup keamanan juga bukan hanya terbatas pada substansi kewilayahan (territorial security) tetapi juga menjadi isu spesifik, seperti keselamatan masyarakat (public safety), perlindungan masyarakat (community protection), ketertiban umum, penegakan hukum dan ketertiban masyarakat (law enforcement and order), pertahanan nasional (national defence).

Dengan demikian maka fungsi keamanan nasional cakupannya amat luas dan beragam, yang kadang-kadang sering diartikan sempit dan menjadi rancu ketika diacukan pada keamanan dan ketertiban masyarakat saja. Pengertian keamanan seharusnya tidak berdiri sendiri, karena mempunyai pengertian yang berbeda dan spesifik bila mempunyai atribut tertentu. Atribut itulah yang membedakan konteks dan bobot dari makna keamanan itu sendiri. Beberapa contoh konkrit misalnya keamanan global (global security), keamanan regional (regional security), keamanan dalam negeri (internal security), dan keamanan manusia (human security).

Sejak berakhirnya era Perang Dingin, konsep keamanan tersebut telah bergeser dari keamanan militer menjadi keamanan manusia (human security) yang menitikberatkan pada kesejahteraan individu dan pada keamanan masyarakat. Dalam konsep ini, human development yang berkelanjutan berkaitan dengan kebijakan alokasi sumber daya, terutama yang berkenaan dengan dimensi-dimensi pendidikan, kesehatan, daya beli, dan rasa aman dari segala bentuk ancaman dan intimidasi. Pemahaman keamanan nasional yang komprehensif pada umumnya disertai dengan tuntutan untuk mengedepankan keamanan manusia (human security). Isu-isu militer dan non militer tidak hanya mengancam keutuhan negara tetapi juga mengancam individu-individu yang berdiam di sebuah negara. Ancaman keamanan yang tertuju langsung terhadap individu diartikan melalui konsep human security, dengan alasan bahwa objek dari keamanan seharusnya bukan hanya negara dan kelompok-kelompok di bawah naungan negara, tetapi juga orang-orang secara individu di mana mereka sebagai aktor yang membentuk institusi kenegaraan itu.[7]

Pada tahun 1990, PBB telah megembangkan konsep tentang keamanan manusia, yang menurut United Nations Development Program (UNDP)[8],yaitu the concept of security must change—from an exclusive stress on natioal security to a much greater stress on people’s security, from security through armaments to security through human development, from territorial to food, employment and environmental security. Sedangkan UNDP dalam Human Develpment Report (HDR) telah membuat tujuh dimensi keamanan, yaitu: [9]

a. Keamanan Ekonomi (economic security), di mana diperlukan pendapatan dasar dari pekerjaan produktif;
b. Keamanan Pangan (food security), di mana setiap orang pada setiap kesempatan memiliki akses (baik kesehatan dan ekonomi) terhadap panganan dasar.
c. Keamanan Kesehatan (health security), di mana setiap orang harus dijamin kesehatannya dan akses untuk menuju sehat;
d. Keamanan Lingkungan, di mana kesehatan dan ketertiban serta keamanan lingkungan secara fisik.
e. Keamanan Individu, di mana pengurangan ancaman individu dari tindakan kejahatan
f. Keamanan Komunitas, di mana keamanan melalui keanggotaan dalam suatu kelompok.
g. Keamanan Politis, di mana dijaminnya kehidupan dalam masyarakat yang menghargai hak asasi manusia.

Dalam mengartikan kalimat dari human security sangat penting sekali untuk mengetahui bahwa terdapat tiga pendekatan aliran pemikiran terhadap konsep human security.[10] Pendekatan pertama dapat disebut sebagai pendekatan yang berdasarkan hak-hak yang menjadi fokus utama dari human security. Pendekatan yang berdasarkan hak-hak pada human security melihat untuk menguatkan kerangka normatif yang sah pada level internasional dan regional juga menguatkan hukum atas hak asasi manusia dan sistem peradilan pada tingkat nasional. Pendekatan kedua, menitikberatkan kepada konsep human security dalam kerangka kemanusiaan di mana keselamatan masyarakat (dapat juga diartikan sebagai bebas dari rasa takut) merupakan tujuan utama dibalik intervensi internasional. Konsepsi ini melihat teroris sebagai salah satu ancaman yang utama terhadap human security. Pendekatan ini juga melihat human security diperlukannya tindakan darurat dalam menangani korban jiwa yang banyak dalam konflik yang melibatkan kemanusiaan. Pendekatan ketiga dapat diartikan sebagai pembangunan manusia yang berkelanjutan dilihat dari sudut pandang human security. Konsep ini berkaitan erat dengan apa yang didefinisikan oleh UNDP dalam Human Development Report pada tahun 1994 mengenai pendefinisian human security. Pendekatan ketiga berkaitan dengan pendekatan liberalisme dalam hubungan internasional terutama liberalisme institusional. Dimana, institusi internasional membantu dalam mendorong kerja sama antara negara dan membantu menghilangkan rasa saling tidak percaya antara negara dan ketakutan negara-negara merupakan masalah klasik yang diasosiasikan dalam suatu sistem internasional yang anarki.

Walaupun terdapat tiga konsep yang berbeda-beda terhadap human security, sejauh ini ketiganya memiliki kesamaan terhadap fokus utama perhatian mereka terhadap individu dari pada negara. Sehingga secara garis besar terdapat beberapa kriteria mengenai apa yang dimaksud human security, yaitu:
a. Peduli akan keselamatan dan perluasan kebebasan masyarakat.
b. Berfokus banyak terhadap permasalahan perlindungan masyarakat dari bahaya ancaman.
c. Menitikberatkan kepada individu dan komunitas, bukan negara.
d. Dibangun dalam kerangka global dalam konsep mengenai hak asasi manusia (HAM).
e. Peduli terhadap hubungan antara pelanggaran HAM dalam lingkup nasional dan ketidakamanan nasional serta internasional.
Paradigma pembangunan dewasa ini berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan salah satu alat ukur yang terdiri dari indikator pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Ketiganya mencerminkan kualitas sumber daya manusia yang selanjutnya berperan sebagai penjamin bagi kontinuitas pembangunan. Dalam kerangka ini, IPM memiliki potensi sebagai alat analisa situasi dan kebijakan pembangunan. Karenanya dalam konteks pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan IPM dapat digunakan sebagai salah-satu alat atau referensi yang menduduki posisi penting dalam manajemen pembangunan baik dalam hal perencanaan, pemantauan ataupun evaluasi. Dalam kaitannya dengan human security, IPM memiliki keterkaitan erat karena ketiga indikator komposit IPM sejalan dengan komponen-komponen human security.

Human security menjadi faktor penting dalam pembangunan wilayah perbatasan. Upaya perlindungan terhadap human security membuka peluang bagi wilayah perbatasan untuk mempercepat proses pembangunan, dan karena keterkaitan yang erat dengan pembangunan ekonomi dan sosial, human security juga menjadi investasi yang penting bagi pembangunan wilayah perbatasan. Dengan demikian, tantangan bagi pemerintah (pusat dan daerah) serta berbagai stakeholders lain di wilayah perbatasan adalah bagaimana mengintegrasikan human security sebagai inti dari proses perencanaan dan implementasi pembangunan wilayah perbatasan yang berbasis pada pembangunan manusia. Jika dalam pembangunan wilayah perbatasan tidak memperhatikan keamanan manusia, yang terjadi kemudian adalah rasa nasionalisme rakyat di wilayah perbatasan akan luntur dan hilang karena merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah juga akan berkurang sehingga dapat menimbulkan gangguan stabilitas keamanan yang pada akhirnya akan mengganggu rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Pendidikan dan kesejahteraan masyarakat juga harus menjadi focus pemerintah dalam membangun wilayah perbatasan.

Dengan kata lain, pembangunan wilayah perbatasan tidak hanya difokuskan bagaimana daerah tersebut aman dari gangguan separatism, wilayah kedaulatan negara tidak digerus oleh Negara tetangga, terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga harus difokuskan pada kesejahteraan masyarakat terkait dengan keadaan sosial budayanya.

UNDP dalam Millenium Development Goals (2000) mengemukakan dua perspektif dalam mengkaji hubungan antara pembangunan manusia dengan keamanan manusia sebagai berikut:
a. Konsep keamanan tidak hanya difokuskan pada negara dan aspek teritorial, tapi juga pada individu-individu yang mestinya menjadi pusat perhatian. Orang harus merasa aman dalam segala aspek kehidupannya, ketika mereka berada di rumah, rasa aman terhadap pekerjaannya, ketika berada di jalan, ketika berada di tengah-tengah komunitas dan lingkungannya. Dalam perspektif ini, ada 7 (tujuh) kategori yang dapat menghilangkan rasa aman manusia, yakni:
1) Pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol;
2) Polusi dan kerusakan alam;
3) Perdagangan obat-obatan terlarang;
4) Terorisme internasional;
5) Instabilitas finansial;
6) Instabilitas perdagangan; serta
7) Kesenjangan global.

Dalam perspektif ini, pembangunan manusia diarahkan untuk meminimalkan ketujuh kategori tersebut melalui perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan harus mencerminkan setidak-tidaknya 9 dimensi keamanan manusia yang berkaitan dengan pembangunan manusia yang berkelanjutan. Kesembilan dimensi tersebut meliputi:
1) Keamanan ekonomi;
2) Keamanan finansial;
3) Keamanan pangan;
4) Keamanan dalam hal kesehatan;
5) Keamanan dalam hal lingkungan hidup;
6) Keamanan personal;
7) Keamanan gender;
8) Keamanan komunitas; serta
9) Keamanan politik.

Dalam perspektif ini, konsep human security mencakup dimensi yang luas, mulai dari keamanan dari ancaman penyakit menular, rawan pangan, kekurangan gizi, ancaman kehidupan sehari-hari (jaminan pekerjaan, akses pendidikan, dll) sampai keamanan dari tindak kejahatan dan terorisme.
b. Perspektif kedua disebut dengan humanizing security (memanusiawikan keamanan). Dalam perspektif ini, upaya mewujudkan keamanan manusia dilakukan secara struktural melalui penegakan hukum serta upaya perlindungan terhadap individu dan komunitas dari perilaku kekerasan, baik yang dilakukan negara maupun pihak lain, misalnya teroris. Perspektif ini lebih sempit dibandingkan yang pertama karena lebih memfokuskan integrasi pembangunan manusia dengan keamanan manusia sebagai upaya melindungi individu-individu dari perilaku kekerasan.
Indonesia memiliki banyak alasan untuk menuntun keamanan manusia menjadi jaminan terhadap setiap manusia yang hidup di tanah Indonesia. Persoalan-persoalan di wilayah perbatasan seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, perusakan lingkungan, kekerasan domestik, ancaman kematian, teror, konflik bersenjata merupakan sebuah ancaman yang tertuju pada keamanan nasional Indonesia. Oleh karena ancaman yang timbul pada masa kini begitu kompleks dan berasal dari berbagai aspek kehidupan, maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipinya keamanan nasional di Indonesia terdiri dari keamanan internal (keamanan dalam negeri) dan keamanan eksternal, di mana pertahanan negara dapat berada baik dalam keamanan internal maupun keamanan eksternal. Keamanan internal terdiri atas ketertiban umum, keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan masyarakat dan keselamatan rakyat. Sedangkan keamanan eksternal terdiri dari keamanan regional dan keamanan internasional.

Perkembangan paradigma pembangunan Indonesia dewasa ini menempatkan wilayah atau ruang (spasial) sebagai salah satu dimensi strategis yang berperan penting, bukan hanya sebagai tempat berlangsungnya aktivitas pembangunan tapi juga sebagai ruang hidup (living space). Dengan demikian, wilayah perbatasan sebagai suatu ruang seyogyanya berperan sebagai tempat bermukim dan melakukan kegiatan secara berkelanjutan. Orientasi berkelanjutan inilah yang menjadi kunci pengelolaan wilayah perbatasan. Oleh karena itu, pengelolaan wilayah perbatasan perlu memadukan antara pendekatan kesejahteraan dengan pendekatan keamanan. Pendekatan keamanan diselaraskan dengan pendekatan kesejahteraan mengingat perkembangan isu-isu keamanan yang sekarang lebih berorientasi pada keamanan manusia (human security) bukan hanya keamanan teritorial. Pola pembangunan yang terpusat pada peningkatan kualitas hidup manusia, merata, dan berkelanjutan menjadi prasyarat penting untuk mewujudkan perasaan aman di antara seluruh anggota masyarakat, baik dalam hal penghasilan, pekerjaan, ancaman kejahatan, dan potensi konflik sosial-politik.

Secara konseptual, pendekatan kesejahteraan mengacu pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Masyarakat diasumsikan akan patuh dan taat terhadap hukum serta tidak akan melakukan berbagai perbuatan yang melanggar aturan apabila terpenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap persoalan dan permasalahan, baik sengketa, konflik dan kerusuhan yang terjadi di tengah masyarakat harus didekati dengan melihat dan mempertimbangkan aspek kesejahteraan hidupnya. Kebutuhan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang, dan papan merupakan prioritas untuk dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka menjaga stabilitas keamanan masyarakat. Logikanya, stabilitas keamanan masyarakat tidak akan tercipta apabila masyarakat masih mengalami kelaparan, keterbatasan dalam berpakaian, dan ketiadaan rumah untuk beristirahat.

Pemerintah juga harus memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat sangat mendukung terselenggaranya ketertiban dan keamanan masyarakat yang akhirnya dapat menciptakan peluang kerja dari pembangunan yang berjalan. Dalam pandangan pendekatan kesejahteraan, pembangunan sosial ekonomi merupakan alat yang ampuh untuk menciptakan kedamaian masyarakat. Setiap konflik yang terjadi harus diselesaikan dan didekati dengan menekankan aspek kesejahteraan masyarakat. Tanpa adanya pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam melaksanakan proses pembangunan, maka persoalan dan permasalahan akan selalu muncul.

Wilayah Perbatasan Indonesia ditinjau dari Keamanan Negara (State Security) dan atau Pertahanan (Defense)
Kebutuhan negara untuk membentengi perbatasan (fortification of border) dilakukan untuk melindungi negara dari penetrasi (militer) asing di wilayah perbatasan. Penetrasi asing mungkin terjadi karena garis perbatasan bersifat labil dan dapat dieksplorasi (frontiers border) sesuai dengan konsepsi integrasi teritorial masing-masing negara. Untuk mencegah bergesernya frontiers border, suatu negara biasanya membentengi perbatasan dengan metode militerisasi perbatasan. Untuk Indonesia, penguatan benteng perbatasan sulit dilakukan mengingat panjangnya perbatasan Indonesia, seperti panjang wilayah perbatasan darat yang berada di Kalimantan, Timor dan Papua terbentang ± 3.190 Km dengan kekayaan alam dan seluruh potensi yang ada, menjadikan wilayah Negara Indonesia sebagai wilayah yang sangat luas dan strategis.

Panjang garis batas Kalimantan-Malaysia terbentang sepanjang ± 2.004 Km dengan kondisi wilayah berupa pegunungan dan dataran yang berawa. Pada umumnya masih ditumbuhi hutan heterogen yang sangat lebat dengan perkampungan penduduk yang pada umumnya tersebar dan terpencil serta jarak antar perkampungan yang saling berjauhan. Wilayah perbatasan negara di Provinsi Kalbar berada di belahan utara, berhadapan langsung dengan Negeri Serawak (Malaysia) sepanjang sekitar 857 km. Kawasan pesisir pantai Kalbar mempunyai akses langsung dengan Laut Cina Selatan. Di wilayah perbatasan ini kecenderungan orientasi dan interaksi penduduk perbatasan ke wilayah Sarawak, di mana hal ini dapat menjadikan Kalbar sebagai hinterland Sarawak. Sedangkan, wilayah perbatasan Indonesia Malaysia di Kaltim terletak memanjang di bagian Utara dan Barat, sepanjang 1.032 km. luas wilayah perbatasan sekitar 57.731,64 km2 atau 23,54% dari luas wilayah Kaltim. Wilayah perbatasan terdiri dari kawasan hutan, pegunungan, rawa, dan dataran rendah. Pada wilayah perbatasan di Kaltim terdapat gunung, lembah dan hutan, yang membuat akses untuk menuju kawasan tersebut sulit dilakukan dalam waktu yang cepat, bahkan terdapat wilayah perbatasan yang hanya dapat ditembus dengan melewati sungai, yang hanya dapat dilalui dengan jalan setapak, dan ada pula yang hanya dapat dilewati dengan helikopter melalui udara.

Situasi di wilayah perbatasan di pulau Kalimantan masih didominasi oleh pelanggaran-pelanggaran batas wilayah yang ditandai dengan hilangnya atau bergesernya beberapa patok batas negara yang dilaksanakan oleh oknum/kelompok yang tidak bertanggungjawab di wilayah tersebut. Ketidakjelasan batas antarnegara merupakan permasalahan yang dapat merugikan pihak Indonesia. Permasalahan batas sebagai hasil ukuran bersama di lapangan tidak berhimpit dengan peta-peta yang beredar. Masih maraknya kasus ilegal loging yang terjadi di wilayah perbatasan yang dilakukan oleh kelompok/oknum yang tidak bertanggungjawab dan hasil hutan dari kegiatan ilegal tersebut pada umumnya masuk ke wilayah negara tetangga. Dari beberapa hal yang ditemukan oleh Kodam VI/Tanjungpura, bahwa kasus ilegal loging yang terjadi didanai oleh para pengusaha dari Malaysia yang menampung hasil hutan curian dari masyarakat Indonesia di wilayah setempat, sehingga merugikan kepentingan Indonesia. Masih banyak kasus penyelundupan yang dilakukan oleh kelompok/oknum yang tidak bertanggungjawab dari kedua wilayah, diantaranya penyelundupan BBM, Sembako dan barang elektronik. Masih banyaknya kasus pelintas batas ilegal yang disebabkan adanya hubungan famili antarpenduduk dan juga dilakukan sekelompok masyarakat lainnya di wilayah tersebut yang sengaja menghindari aturan/ketentuan untuk memasuki negara lain serta menghindari pungutan pajak. Terdapat rute-rute klasik yang digunakan untuk kegiatan penyelundupan barang agar mendapat keuntungan yang besar sehingga sangat merugikan pendapatan negara.

Panjang garis batas NTT-Timor Leste di wilayah Kabupaten Belu terbentang sepanjang ± 172 Km dan di wilayah Kabupaten Timur Tengah Utara sepanjang ± 144,7 Km dengan kondisi wilayah berupa perbukitan tandus dan lembah serta terbatasnya jaring jalan perhubungan yang menghubungkan wilayah tersebut dengan desa atau pemukiman penduduk. Batas wilayah antara RI dengan Timor Leste yang digunakan saat ini masih ada berdasarkan bentangan alam seperti bukit, sungai, pohon besar, dan jalan. Wilayah perbatasan di NTT memiliki karakteristik wilayah yang khas, yaitu terdapatnya wilayah enclave pada sektor barat di Distrik Oecusse yang merupakan wilayah Timor Leste yang terletak di sebelah utara wilayah NTT. Sedangkan sektor timur hanya terdiri dari Kabupaten Belu yang berbatasan langsung dengan Distrik Covalina di Timor Leste.

Saat ini masih terdapat beberapa tempat di wilayah perbatasan dengan Timor Leste yang belum dapat ditentukan status yuridiksinya sehingga menjadi ajang sengketa antara masyarakat di kedua belah pihak dalam memanfaatkan tempat tersebut sebagai lahan pertanian. Kegiatan ilegal di wilayah perbatasan NTT-Timor Leste didominasi oleh banyaknya kasus penyelundupan dari Indonesia ke Timor Leste berupa penyelundupan BBM dan Sembako. Masih banyaknya kasus pelintas batas ilegal yang terjadi disebabkan adanya hubungan famili antarpenduduk yang sengaja menghindari aturan/ketentuan untuk memasuki negara lain. Tujuan dari para imigran gelap ini bervariasi dari yang hanya mengunjungi sanak keluarganya hingga melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat seperti mencuri ternak. Pos Pengamanan Perbatasan telah berupaya maksimal memantaunya, namun demikian keterbatasan sarana dan prasarana ditambah dengan masih banyaknya jalan ‘tikus’ yang sulit dijangkau petugas, menyebabkan imigran gelap leluasa keluar-masuk wilayah RI.

Sedangkan panjang garis batas Papua–Papua Nuigini terbentang sepanjang ± 870 Km dengan kondisi wilayah 75% berupa hutan tropis yang basah, lebat dan tertutup dengan perkampungan penduduk di wilayah ini pada umumnya tersebar dan terpencil, jarak antar perkampungan yang saling berjauhan. Wilayah perbatasan antarnegara di Provinsi Papua meliputi perbatasan darat dan laut. Panjang wilayah perbatasan darat yang membentang dari Kota Jayapura sampai dengan Kabupaten Merauke kurang lebih 760 Km (berdasarkan perjanjian Belanda dengan Ingris pada tanggal 16 Mei 1895). Sebelum mengalami pemekaran kabupaten, wilayah perbatasan darat di Papua melewati empat kabupaten/kota (Kota Jayapura, Jayapura, Jayawijaya dan Merauke), setelah pemekaran wilayah perbatasan meliputi Kota Jayapura, Kabupaten Kerom, Pegunungan Bintang, Boeven Digoel dan Merauke. Sedangkan perbatasan laut di wilayah pulau terluar wilayah RI di Provinsi Papua adalah Kapubaten Raja Ampat dan Kabupaten Supiori.

Mengingat panjang wilayah perbatasan di Papua dihadapkan dengan jumlah patok batas negara yang sangat terbatas mengakibatkan sulitnya menentukan secara pasti letak garis batas di wilayah ini. Dengan kurang optimalnya pengawasan dan pengendalian di sepanjang perbatasan dan masih banyaknya wilayah yang tidak terjangkau oleh pasukan pengamanan maka hal ini dimanfaatkan dengan leluasa oleh OPM untuk keluar masuk wilayah Indonesia-Papua Nuigini melalui jalan-jalan setapak sebagai rute klasik mereka. Masih banyak kasus penyelundupan yang dilakukan oleh kelompok/oknum yang tidak bertanggungjawab dari kedua wilayah, diantaranya penyelundupan BBM, Sembako dan barang elektronik. Masih banyaknya kasus pelintas batas ilegal yang terjadi disebabkan oleh adanya hubungan famili antarpenduduk yang sengaja menghindari aturan/ketentuan untuk memasuki negara lain.

Kecenderungan peningkatan gelar pasukan di wilayah perbatasan acapkali memunculkan penilaian bahwa TNI sedang berupaya untuk melakukan militerisasi wilayah perbatasan. Gelar pasukan di perbatasan ini merupakan implementasi Pasal 6 ayat (1) mengenai fungsi TNI, pasal 8 mengenai fungsi TNI AD, serta pasal 11 UU 34/2004 tentang TNI yang dalam bagian penjelasannya menegaskan bahwa gelar kekuatan TNI harus memperhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, wilayah perbatasan, daerah rawan konflik dan pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis dan strategi pertahanan. Padahal postur pertahanan yang saat ini dimiliki Indonesia cenderung tidak mampu membentengi perbatasan secara optimal.

Saat ini, kendala gelar perbatasan tersebut diatasi dengan menerapkan strategi perbatasan yang merupakan kombinasi dari empat metode, yaitu: gelar komando kewilayahan AD (Koramil-Babinsa) di wilayah perbatasan, pembentukan dan penguatan pos perbatasan, penguatan patroli bersama antarnegara di perbatasan, dan rotasi penempatan pasukan perbatasan. Namun, strategi perbatasan tersebut dilakukan bukan untuk mengantisipasi invasi perbatasan militer asing tetapi lebih ditujukan untuk mengatasi gerakan kelompok separatis bersenjata dalam negeri (terutama di Papua) dan kejahatan transnasional. Di sisi lain, strategi perbatasan tersebut saat ini tidak berjalan dengan maksimal karena kondisi sumber daya manusia yang ada di TNI, alat utama sistem persenjataan (alutsista) tidak memadai sehingga menyebabkan banyaknya kasus tentang pergeseran patok batas wilayah antara Indonesia dengan negara tetangga terutama di perbatasan Kalimantan. Kasus antara TNI dengan Tentara Diraja Malaysia terkait dengan sengketa Ambalat juga membuktikan bahwa strategi perbatasan yang diterapkan berjalan tidak maksimal. Terjadinya illegal loging dan illegal mining juga menjadi tanda bahwa konsep strategi perbatasan yang selama ini diterapkan sangat tidak efektif.

Selama ini perhatian pemerintah kepada wilayah-wilayah perbatasan dirasakan masih sangat kurang. Hal ini dicerminkan oleh banyaknya masalah yang muncul di wilayah-wilayah perbatasan, seperti tidak jelasnya garis batas antar negara, berpindahnya patok tanda batas antar negara, eksploitasi sumber daya alam wilayah di perbatasan oleh negara lain, kesenjangan ekonomi antara penduduk di wilayah negara RI dengan wilayah negara lain, wilayah pebatasan sebagai tempat transit dan pintu masuk tenaga kerja illegal, dan sebagainya. Mengingat peran dan kedudukan strategisnya tersebut, maka pemerintah perlu memberikan perhatian secara lebih serius kepada wilayah-wilayah perbatasan, khususnya wilayah-wilayah perbatasan terluar yang memiliki nilai sangat strategis dalam mempertahankan eksistensi negara dan bangsa serta wilayahnya terutama dari sektor keamanan.

Isu pengembangan wilayah perbatasan dewasa ini merupakan salah satu wacana yang menjadi sorotan perhatian berbagai kalangan. Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang sangat terbatas. Di masa lalu wilayah perbatasan dipandang sebagai wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak. Akibatnya, di sejumlah daerah, kawasan perbatasan tidak tersentuh dinamika pembangunan. Masyarakat di wilayah itu pun umumnya miskin dan lebih berorientasi ke negara tetangga. Di lain pihak, negara tetangga seperti Malaysia justru telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan. Pembangunan ini telah memberikan keuntungan bagi pemerintah Malaysia maupun masyarakatnya, termasuk masyarakat Indonesia yang melakukan perdagangan lintas batas walaupun secara illegal.

Sebenarnya, peluang ekonomi di beberapa wilayah perbatasan telah terbuka lebih besar dengan berlakunya sejumlah perjanjian internasional. Perjanjian itu antara lain perdagangan bebas internasional, kerjasama ekonomi regional maupun bilateral, serta kerjasama sub-regional semisal AFTA, IMS-GT, IMT-GT, BIMP-EAGA, dan AIDA. Pemerintah dalam hal ini tenyata tidak mampu memanfaatkan perjanjian-perjanjian kerjasama ekonomi regional maupun bilateral tersebut diatas karena dalam menangani wilayah perbatasan masih berorientasi pada keamanan negara (state security). Dalam perspektif pemerintah, jika wilayah-wilayah perbatasan negara sedah berada dalam keadaan “aman” dari infiltrasi asing, maka pemerintah merasa sudah cukup berbuat untuk negara karena dalam hal ini negara sudah dianggap aman dari ancaman eksternal.

Padahal, berlakunya kerja sama internasional tersebut seharusnya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya pengembangan wilayah perbatasan dengan lebih memperhatikan tingkat kesejahteraan penduduk disekitarnya. Dalam rangka melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional, Indonesia juga perlu menyiapkan berbagai langkah, kebijakan dan program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu, disamping adanya jaminan keamanan nasional. Dengan demikian Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga. Ketertinggalan wilayah-wilayah perbatasan tersebut selama ini telah menyebabkan SDA di kawasan perbatasan tersedot keluar. Dengan kata lain, masyarakat sekitar (human) dan negara (state) tidak mendapat keuntungan secara finansial karena wilayah perbatasan hanya dipandang dari perspektif keamanan negara dan pertahanan saja.

Terlepas dari berbagai persoalan yang pernah ada selama ini dengan wilayah perbatasan terkait dengan keamanan nasional, pemerintah Indonesia terkesan melupakan beberapa hal yang selama ini tidak begitu mendapat perhatian yang cukup. Misalnya, pemerintah tidak pernah memperhatikan secara serius tentang daya tahan keamanan (security treshold) baik di wilayah perbatasan atau di wilayah-wilayah lainnya. Selama ini, konsentrasi pemerintah hanya membahas tentang hilangnya miliaran rupiah karena praktek-praktek pencurian ikan, illegal logging, traficking, dan sebagainya tetapi tidak pernah membahas kenapa semua hal tersebut dapat begitusaja dengan mudah terjadi padahal sudah ada TNI yang melakukan fungsi pengamanan.

Dengan demikian, bangsa Indonesia perlu melakukan transformasi doktrin, postur dan strategi operasional keamanan nasional yang komprehensif dan tidak hanya memperhatikan tentang keamanan negara, khususnya diwilayah-wilayah perbatasan. Selama ini, secara nyata dapat terlihat bahwa kesulitan bangsa Indonesia adalah sangat lemah dalam mengkontekstualisasikan masalah keamanan. Ada impresi yang sangat kuat seakan-akan Indonesia berada dalam masalah besar, tetapi hal tersebut tidak pernah diletakan dalam konteks daya tahan keamanan (security treshold) dan adanya suatu bentuk respon dari pemerintah yang strategis (strategic response) berupa kebijakan apa yang harus diambil untuk dapat mengatasi kondisi tersebut yang selaras dengan konteks keamanan nasional dimana pertahanan dan keamanan ada didalamnya.

Konsep keamanan di wilayah perbatasan kiranya harus disesuaikan dengan kondisi obyektif kemampuan negara saat ini, namun tetap mengacu kepada kebutuhan masa depan serta memperhatikan pengaruh lingkungan strategik, baik lokal, regional maupun global. Untuk meningkatkan stabilitas keamanan di wilayah perbatasan serta mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran, maka harus dikembangkan suatu pola atau mekanisme pengembangan wilayah perbatasan yang dilakukan dengan pendekatan keamanan nasional yang berorientasi pada keamanan manusia (human security) untuk mendukung pembangunan kesejahteraan.


Wilayah Perbatasan Indonesia ditinjau dari Keamanan Manusia (Human Security)
Secara umum masyarakat di sepanjang wilayah perbatasan Kalimantan-Malaysia berpenghasilan rendah, dan memiliki ketergantungan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan masyarakat negara tetangga mengingat masih terdapat adanya hubungan famili dari nenek moyang dan lebih mudah dijangkau bila dibandingkan dengan pusat perekonomian terdekat di wilayah tersebut, karena keterbatasan jalan dan sarana transportasi yang membuat mereka sulit dalam berkomunikasi. Eratnya hubungan kekerabatan antarsuku di kedua wilayah perbatasan dapat dilihat dari kebiasaan suku tersebut untuk saling berkunjung ke rumah saudara yang berada di antara wilayah Indonesia dan Malaysia tanpa adanya dokumen untuk lintas batas negara, sehingga telah membuat mereka seringkali melintas batas wilayah perbatasan untuk keperluan keluarga. Ditambah lagi dengan adanya warga Indonesia yang rumahnya berada di wilayah Malaysia membuat sulit pula bagi pengaturan pelintas batas tradisional ini. Masyarakat di wilayah perbatasan menganggap bahwa hubungan kultural dan relasi sosial yang dibangun antarmereka tersebut, khususnya masyarakat suku Dayak di Indonesia dan suku Melayu di Malaysia, telah lama berlangsung mendahului perjanjian batas negara yang memisahkan mereka dan sudah berjalan ratusan tahun yang lalu. Jika terjadi pergeseran patok di wilayah perbatasan di mana suatu suku tinggal namun berkewarganegaraan berbeda, mereka akan saling menutupi.

Di samping itu, gejala yang muncul di masyarakat wilayah perbatasan adalah mulai melunturnya wawasan kebangsaan sebagai bangsa Indonesia. Hal ini diindikasikan dari beberapa aspek sbb: Aspek ekonomi, masih terdapat orientasi pembelian produk-produk yang lebih suka terhadap produk Malaysia dibandingkan Indonesia, bangga memiliki mata uang Ringgit dibandingkan Rupiah, dan memilih belanja di Malaysia. Aspek politik, masih banyak anak sekolah yang kurang hafal lagu kebangsaan dan perjuangan Indonesia, keengganan masyarakat untuk melakukan upacara pada hari kemerdekaan, lebih antusias mengikuti perkembangan politik Malaysia dibandingkan Indonesia, dan perasaan untuk menjadi orang Malaysia. Aspek sosial budaya, ditandai dengan perilaku masyarakat yang meniru gaya hidup masyarakat Malaysia dan bangga menjadi orang Malaysia dibandingkan menjadi orang Indonesia.

Ketergantungan ekonomi ke negara tetangga akibat terbatasnya infrastruktur juga memberikan dampak lanjutan bagi masyarakat. Kondisi ini dapat terlihat dari mahalnya kebutuhan hidup sehari-hari akibat perbedaan nilai mata uang, karena harga dipatok sesuai dengan nilai mata uang Ringgit. Masyarakat terpaksa membeli barang dengan harga yang jauh berbeda sehingga cukup menyulitkan masyarakat ditambah dengan terbatasnya lahan pekerjaan membuat mereka harus bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sarawak, bahkan melakukan perdagangan ilegal. Masyarakat perbatasan dalam melakukan transaksi ekonomi (jual beli) di pasar menggunakan tidak hanya mata uang Rupiah, tapi juga Ringgit, karena setiap kali mereka membeli barang yang berasal dari Malaysia, orang Malaysia tidak mau menggunakan Rupiah. Masyarakat perbatasan terpaksa menukar Rupiah dengan Ringgit sebelum membeli barang dari Malaysia. Dari sini dapat dikatakan bahwa kekuatan tawar menawar masyarakat perbatasan terhadap orang Malaysia dalam hal transaksi jual beli rendah, karena sadar atau tidak sadar, masyarakat dipaksa menggunakan nilai tukar Ringgit dalam membeli barang Malaysia, sementara jika orang Malaysia membeli barang yang berasal dari Indonesia, maka nilai tukar yang digunakan tetap Ringgit.

Tingkat pendidikan masyarakat sangat memprihatinkan. Di lihat dari dari gedung sekolah, rata-rata tidak layak pakai dan bahkan banyak yang sudah ambruk karena tidak ada dana untuk merehabilitasi. Fasilitas sekolah, meja, kursi, papan tulis dan fasilitas pendukung sangat terbatas dan kalau ada kondisi sudah tidak layak digunakan. Dari kualitas pendidikan, masih banyak guru yang berstatus honorer dengan tingkat pendidikan diploma 1 dan 2. Kualitas siswa yang masih di bawah rata-rata sehingga sulit untuk bersaing dengan siswa lainnya di perkotaan. Di samping itu, masih sangat kecil siswa yang melanjutkan ke perguruan tinggi, sehingga rata-rata hanya lulusan SD, SLTP dan SLTA. Bantuan pendidikan melalui beasiswa juga jarang diberikan bagi siswa di perbatasan, karena salah satu persyaratan memperoleh beasiswa adalah nilai akademiknya harus tinggi, sedangkan masyarakat perbatasan nilai akademik masih di bawah standar nasional.

Tingkat kesehatan masyarakat perbatasan juga sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari sarana kesehatan yang minim. Puskesmas yang ada di kecamatan maupun Posyandu yang ada di Desa mengalami kendala dalam hal jumlah tenaga medis, fasilitas kesehatan, dan obat-obatan. Kuantitas tenaga medis, masih sangat terbatas. Jumlah dokter, perawat, bidan dan paramedis relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan, meskipun jumlah pasien relatif sama. Belum lagi kualitas pendidikan dan kadar pengalaman tenaga medis yang masih perlu ditingkatkan. Fasilitas kesehatan juga masih sangat terbatas, sehingga tidak jarang Puskesmas dan Posyandu mengalami kesulitan apabila jumlah pasien yang datang banyak, sementara daya tampung ruangan relatif terbatas. Di tambah lagi dengan kurang lengkapnya fasilitas kesehatan, seperti alat suntik, alat infus, dan alat cek darah. Obat-obatan yang diberikan kepada pasien juga masih sangat terbatas pada obat generik.

Masyarakat di perbatasan pada umumnya masih relatif primitif dan kurang tersentuh oleh nilai-nilai modernisasi. Peran tokoh adat dalam interaksi antar masyarakat di perbatasan masih sangat kental. Tata nilai dan tata laku masyarakat masih berpedoman kuat pada nilai, norma, dan aturan adat. Apabila terjadi perselisihan, sengketa, dan konflik antar masyarakat, maka langkah penyelesaiannya lebih cenderung menggunakan hukum adat. Sebagian dari masyarakat perbatasan tidak mengenal hukum nasional. Hukum adat yang masih ada di masyarakat adalah hukum adat suku Dayak. Oleh karena itu, apabila terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat, maka sulit bagi aparat hukum dan aparat keamanan untuk memproses melalui hukum nasional, karena dalam pandangan masyarakat, hukum adat yang berlaku. Hal ini menimbulkan kondisi yang dilematis, di satu sisi hukum adat dalam beberapa kasus dapat memberikan efek jera bagi pelaku karena hukuman dan sanksi yang diberikan sangat berat sehingga masyarakat takut mengulangi kesalahannya. Namun, di sisi lain dalam pandangan hukum nasional setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah hukum Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum nasional. Dalam konteks ini, hukum nasional kalah dengan hukum adat.
Dalam hal akses terhadap media massa, baik elektronik dan cetak, masyarakat perbatasan lebih mudah mengakses media yang berasal dari Malaysia. Meskipun siaran stasiun TV swasta ada beberapa yang dapat tertangkap pesawat TV di perbatasan, akan tetapi siaran TV di perbatasan banyak di dominasi siaran TV yang berasal dari Malaysia. Belum lagi, media cetak, seperti surat kabar sulit masuk ke wilayah perbatasan kalaupun ada datangnya terlambat dua sampai tiga hari.Interaksi masyarakat di perbatasan yang sangat erat dengan masyarakat Malaysia membuat budaya Malaysia mempengaruhi pola pikir, pola tindak dan pola perilaku masyarakat Indonesia di perbatasan. Gaya berpakaian, gaya bahasa, gaya hidup masyarakat perbatasan, khususnya yang sering berinterkasi dengan masyarakat Malaysia, meniru dan mirip Malaysia.

Terbatasnya infrastruktur jalan dalam wilayah perbatasan terlihat dari banyaknya perkampungan yang terisolasi karena belum tersentuh pembangunan jalan. Tidak hanya hubungan antarkampung atau desa, hubungan antar kecamatan pun masih belum terbuka. Keterbatasan infrastruktur ini terlihat dari orientasi kegiatan masyarakat yang bergerak menuju Malaysia, karena infrastruktur jalan yang tersedia dengan cukup baik yang menghubungkan kedua negara tersebut. Terbatasnya jalan di wilayah perbatasan ini dapat mengakibatkan biaya transportasi yang tinggi, baik itu ongkos ataupun waktu tempuh.

Degradasi lingkungan akibat pembalakan liar adalah makin habisnya kayu beserta keaneka-ragaman hayati di hutan, tercemarnya air, erosi dan banjir. Selain itu, perdagangan wanita dan anak-anak disebabkan kurangnya lahan pekerjaan di Indonesia umumnya dan wilayah perbatasan khususnya. Transaksi ini merupakan kegiatan yang dilakukan oleh calo tanpa melalui proses birokrasi dengan jaringan yang tersusun secara rapi dengan para calo di Malaysia. Kurangnya infrastruktur dan tingginya tingkat kesenjangan antara kedua negara membuat masyarakat wilayah perbatasan melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Dalam proses kegiatan illegal logging yang marak terjadi, sebagian masyarakat perbatasan ikut terlibat untuk mendapatkan penghasilan yang menggiurkan. Keterlibatan ini antara lain kebutuhan tenaga kerja atau buruh dalam pembalakan liar dan bukan pelaku utama. Kegiatan pencurian kayu ilegal di perbatasan sangat marak dilakukan oleh oknum-oknum dari pihak Indonesia dan Malaysia. Umumnya, pencurian kayu illegal dilakukan melalui perbatasan darat, khususnya lewat jalan-jalan tikus yang sulit untuk dideteksi oleh aparat keamanan. Namun demikian, saat ini marak pula pencurian kayu ilegal melalui perbatasan laut, yakni dengan mengangkut kayu-kayu menggunakan kapal. Bahkan, ada indikasi pula bahwa pencurian kayu dilakukan dengan menggunakan transportasi udara. Modus operandi yang dilakukan biasanya adalah oknum warga Malaysia memberikan modal kepada oknum warga Indonesia untuk melakukan penebangan kayu di hutan dan setelah itu dijual kepada oknum warga Malaysia. Aparat keamanan sulit menangkap mereka karena penebangan dan penjualan kayu ilegal tersebut digunakan sebagai mata pencaharian memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada lapangan kerja.

Secara umum masyarakat disepanjang wilayah perbatasan dengan Timor Leste berpenghasilan rendah tetapi relatif lebih baik apabila dibandingkan dengan masyarakat negara tetangganya, sehingga menimbulkan kecenderungan masyarakat Timor Leste untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dari wilayah Indonesia. Kondisi sarana jalan kecamatan yang menghubungkan Atambua menuju kecamatan-kecamatan perbatasan dengan Timor Leste kurang baik. Banyak jalan yang rusak, seperti berlubang, amblas, dan longsor, sehingga menghambat masyarakat di kecamatan perbatasan melakukan aktivitasnya di daerah lain. Ketersediaan sarana transportasi baik di sektor barat maupun sektor timur yang terlihat minim juga menjadi kendala bagi masyarakat pula. Jumlah kendaraan umum yang melintasi kecamatan-kecamatan di perbatasan jumlahnya sangat terbatas, sehingga banyak masyarakat yang menunggu di pinggiran jalan hanya untuk mengangkut bahan-bahan pokok atau melakukan aktifitas lainnya antar daerah. Ketersediaan air bersih merupakan kendala utama yang terjadi di hampir semua daerah di Provinsi NTT. Demikian pula dengan daerah-daerah di wilayah perbatasan, baik sektor timur maupun sektor barat. Mata air adalah sumberdaya alam yang cukup langka di wilayah tersebut, sedangkan di sisi lain kondisi tanah yang tandus dan berbukit-bukit Hanya beberapa warga masyarakat saja yang tergolong mampu membuat sumur air, bahkan sebagian besar desa di wilayah perbatasan jarang ada yang bisa membuat sumur secara kolektif. Kurangnya pasokan air bersih membuat warga masyarakat yang lokasinya jauh dari sumber mata air harus berjalan beberapa kilometer untuk mandi, cuci, dan mengambil air minum. Kondisi seperti ini berpengaruh terhadap tingkat kesehatan masyarakat yang relatif mudah terkena wabah. Penanganan wabah tidak pernah optimal jika tidak ditunjang ketersediaan air bersih bagi masyarakat.

Sarana pendidikan di wilayah perbatasan secara umum masih belum memadai. Antara lain terdapat beberapa gedung sekolah dasar yang berada dalam kondisi rusak parah bahkan ambruk total. Kurangnya dana untuk memperbaiki atau membangun kembali gedung sekolah yang rusak menyebabkan kerusakan tersebut tidak dapat segera diatasi. Penanganan sementara yang dilakukan instansi terkait adalah dengan mendirikan tenda-tenda darurat sebagai sarana untuk melangsungkan aktivitas belajar mengajar. Prasarana pendidikan juga dirasakan belum mencukupi seperti masalah kekurangan guru. Wilayah perbatasan secara umum telah memiliki sarana kesehatan yang menjangkau masyarakat yang berada di pelosok-pelosok. Di setiap kecamatan telah berdiri Puskesmas beserta Posyandu di desa-desa, sehingga warga masyarakat cukup terbantu dalam berobat maupun sekedar memeriksa kesehatannya.

Sarana telekomunikasi secara umum tidak memadai di wilayah perbatasan. Kondisi alam yang berbukit-bukit menyulitkan beberapa daerah terutama di wilayah perbatasan untuk menerima sinyal telepon. Di wilayah perbatasan sektor timur, jaringan telepon baik melalui kabel maupun nirkabel belum tersedia. Untuk sarana telepon rumah yang menggunakan jaringan kabel belum tersebar secara merata. Salah satu kendala infrastruktur yang dialami wilayah perbatasan baik di sektor barat maupun sektor timur adalah ketersediaan sarana pemukiman layak huni bagi penduduk. Kondisi tanah yang tandus serta iklim kering yang dominan membuat tetumbuhan di wilayah perbatasan tidak berkembang secara baik. Di musim panas, hutan-hutan terlihat kering dan berwarna kecoklatan karena tetumbuhan meranggas, pada musim ini juga sering terjadi kebakaran hutan. Tanaman pangan yang paling produktif di sepanjang wilayah perbatasan adalah jagung, namun demikian karena bahan makanan pokok masyarakat adalah beras, maka masyarakat harus mendapatkan beras dari daerah lain.

Permasalahan lain di wilayah perbatasan yang paling menonjol adalah persengketaan tanah antara warga Indonesia dengan warga Timor Leste. Kasus-kasus persengketaan tanah lebih disebabkan status kepemilikan tanah yang lebih ditentukan oleh adat. Di sepanjang perbatasan baik di Belu maupun di TTU, masyarakat di dua negara pada umumnya masih satu kerabat. Mereka memiliki leluhur yang sama walaupun terdiri dari beberapa desa atau dusun yang terpisah batas negara. Ketika Timor-Timur berpisah dari Indonesia yang kemudian terjadi penentuan batas-batas negara, permasalahan sengketa tanah muncul dan sering kali menimbulkan konflik fisik antarwarga di kedua negara.

Di Papua, pertumbuhan ekonomi yang lambat merupakan cermin dari masyarakat yang masih berkarakter nomaden yang memiliki anggapan bahwa mereka bisa makan untuk melanjutkan hidup dari alam. Seluruh wilayah perbatasan RI-PNG termasuk daerah tertinggal, karena itu kondisi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakatnya sangat rendah. Kontribusi terbesar PDRB wilayah berbatasan RI-PNG dari sektor pertanian kecuali kota Jayapura. Mata pencahariaan masyarakat wilayah perbatasan sebagian besar bertumpu pada sektor pertanian. Mata pencaharian penduduk perbatasan bertumpu pada sektor pertanian secara tradisional dan sebagian besar masih menganut pola berladang berpindah. Meskipun secara fisiologis tanah di Papua dapat ditanam secara terus menerus seperti tanah di Jawa, kebiasaan pola berladang berpindah dikaitkan dengan kebiasaan mereka berburu binatang. Pola berladang berpindah ini menyebabkan penguasaan lahan bagi keluarga masyarakat sangat luas.

Wilayah perbatasan RI-PNG memiliki sumber daya alam dan sumber daya lahan yang berlimpah berupa hutan (baik hutan lindung maupun hutan produksi dan hutan lindung/taman nasional). Sumber daya alam yang ada di wilayah perbatasan belum dimanfaatkan secara maksimal, kecuali di beberapa lokasi yang telah dikembangkan sebagai hutan konversi. Selain sumber daya hutan wilayah perbatasan juga memiliki potensi sumber daya alam yang belum diolah seperti tambang emas, tembaga dan jenis logam lainnya. Potensi pengembangan tanaman pangan dan perkebunan di wilayah perbatasan masih sangat besar dan sebagian besar belum dimanfaatkan secara maksimal.

Secara fisik wilayah perbatasan RI-PNG yang berbukit-bukit sulit untuk ditembus, sarana transportasi untuk menembus antarkabupaten/distrik digunakan pesawat perintis dan helikopter. Pesawat perintis banyak digunakan oleh para misionaris dan helikopter sewaktu-waktu digunakan oleh pejabat militer/sipil yang berkunjung ke daerah. Keterbatasan sarana dan prasarana jalan di wilayah perbatasan, mobilitas penduduk antardesa/distrik dilakukan dengan jalan kaki. Semua kota-kota di perbatasan RI-PNG belum terlayani oleh prasarana jalan yang memadai. Di lain pihak keterbatasan jalan dan sarana transportasi akan membuat mereka sulit dalam berkomunikasi. Akses sarana komunikasi informasi baik media cetak maupun elektronik (televisi dan radio) di perbatasan sangat rendah, sehingga masyarakat perbatasan tidak dapat menerima informasi baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Kondisi ini menyebabkan kesadaran masyarakat perbatasan terhadap NKRI juga rendah. Kondisi seperti ini memudahkan masuknya pemahaman ideologi lain yang dapat mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi rakyat Indonesia terutama masyarakat perbatasan Papua. Komunikasi antardistrik, antardesa dan antar pos-pos penjagaan juga tidak dapat dijangkau dengan jalan darat, tetapi harus melalui udara. Negara tidak memiliki alat deteksi (radar) yang mampu mendeteksi perbatasan, karena itu adanya pelintas batas baik orang maupun pesawat yang melintas batas antarnegara tidak mampu dideteksi. Kondisi tersebut berpotensi mengundang kerawanan di bidang politik, yang dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa. Pengaruh budaya asing terhadap masyarakat di wilayah perbatasan RI-PNG terutama yang berasal dari para misionaris lebih cepat dari pada yang berasal dari dalam negeri. Hal ini disebabkan para misionaris memiliki akses komunikasi kepada masyarakat pedalaman wilayah perbatasan RI-PNG dibanding dengan pemerintah.

Masyarakat di perbatasan RI-PNG adalah serumpun dan bersaudara, karena itu mereka sering melakukan pelintas batas. Penduduk perbatasan hidup secara komunal berdasarkan pada suku-suku yang banyak jumlahnya. Setiap suku dikepalai oleh seorang kepala suku yang disebut dengan ”ondoafi” dan di atas suku-suku dipimpin oleh seorang “ondopolo”. Komunitas suku tersebut tunduk pada apa yang dikemukakan oleh kepala sukunya (ondoafi), dan seorang “ondoafi” tunduk pada kepemimpinan “ondopolo”. Keadaan ini dimanfaatkan oleh separatis OPM untuk melakukan koordinasi politik di PNG dalam menyusun kekuatan. Hukum adat masyarakat perbatasan Papua merupakan pranata sosial yang sangat dominan dalam mengatur pola kehidupan komunitasnya. Misalnya di dalam hal kepemilikan tanah mereka mengakui bahwa tanah Papua adalah tanah ulayat mereka, sehingga barang siapa menggunakan tanah adat harus berhubungan dengan masyarakat adat dan diselesaikan secara adat. Hal ini yang sering menimbulkan konflik antara pemerintah dan rakyat dalam pemanfaatan lahan untuk kepentingan pembangunan. Pemerintah, swasta atau siapapun yang akan memanfaatkan lahan harus melalui musyawarah adat atau membeli dari masyarakat adat.

Dari aspek pendidikan (baik sarana dan prasarana maupun tenaga guru) sangat terbatas, hal ini ditandai masih banyak penduduk yang buta huruf. Fasilitas sekolah yang ada di distrik-distrik perbatasan baru terbatas Sekolah Dasar. Tidak semua distrik/kecamatan memiliki sekolah setingkat SLTP dan SMA. Tenaga pendidik yang mengajar di wilayah perbatasan sangat terbatas dilihat dari kompetensi maupun jumlah guru. Sarana dan prasana kesehatan baik tempat pelayanan kesehatan maupun tenaga medis dan paramedis juga terbatas. Fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di distrik/kecamatan berupa Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, yang sebagian besar tidak memiliki tenaga dokter maupun tenaga medis, yang ada adalah perawat dan bidan desa. Selain itu, penyebaran HIV/AIDS di Papua berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat di wilayah perbatasan berdampak pada lambatnya pembangunan sumber daya manusia yang berengaruh pada lambatnya perkembangan pembangunan di wilayah perbatasan.

Ditinjau dari keamanan manusia, manusia dan masyarakat di wilayah-wilayah perbatasan sangat jauh memadai standar kehidupannya dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di tanah air ini. Kondisi dan pembangunan kesehatan dan pendidikan yang merupakan salah satu penunjang kemajuan sumber daya manusia belum memadai, demikian pula sarana dan prasarana pendukung lainnya terutama dalam upaya peningkatan daya beli masyarakat belum memadai. Sehingga wilayah perbatasan dapat dikatakan sebagai wilayah yang lack of human development.

Penutup
Wilayah perbatasan Indonesia umumnya merupakan kawasan yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan. Ketimpangan pembangunan ekonomi dan sosial merupakan ciri yang menonjol dari wilayah ini, yang ditandai dengan keterbatasan berbagai sarana dan prasarana dasar yang diperlukan bagi upaya pengembangan wilayah. Di beberapa wilayah perbatasan Indonesia yang berdampingan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia (Sabah dan Sarawak) yang secara ekonomi jauh lebih maju, perbedaan kondisi sosial-ekonomi di wilayah perbatasan antarnegara dapat menimbulkan sejumlah efek negatif yang cenderung merugikan wilayah perbatasan di Indonesia. Efek negatif tersebut misalnya “pemanfaatan” sumber daya alam oleh pihak-pihak dari negara tetangga tanpa adanya kompensasi dan kewajiban-kewajiban yang memadai yang dapat mengakibatkan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan maupun gangguan terhadap kehidupan sosial penduduk di wilayah perbatasan Indonesia. Efek negatif lain pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak-pihak tertentu dari negara tetangga adalah polarization effect; di mana sumber daya alam dan sumber daya manusia suatu negara ditarik/tertarik ke negara tetangga untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah negara tetangga tersebut yang berakibat terjadinya pengosongan kegiatan ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan negara yang tertarik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.

Ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dapat menyebabkan munculnya berbagai persoalan yang pada batas tertentu dapat mengakibatkan gangguan stabilitas keamanan negara Indonesia. Fenomena ini dapat terjadi karena wilayah-wilayah di perbatasan kurang tersentuh oleh aktivitas ekonomi dan lemahnya kontrol negara atas wilayah-wilayah perbatasan tersebut. Mekanisme pasar yang bekerja di wilayah ini pada akhirnya memberi kesempatan kepada pihak-pihak tertentu dari negara tetangga untuk memperluas aktivitas ekonominya mencakup wilayah-wilayah perbatasan di Indonesia. Selain itu, di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia juga ditandai dengan karakteristik sosial budaya masyarakat yang memiliki ikatan kekerabatan dengan kelompok masyarakat lain negara tetangga. Dalam batas tertentu karakteristik seperti ini dapat menjadi kendala bagi keamanan serta pengelolaan dan pembangunan kawasan di wilayah-wilayah perbatasan.

Secara demikian, pada kondisi wilayah perbatasan Indonesia di atas ditinjau dari perspektif keamanan nasional telah terjadi “pengabaian atau pembiaran” langsung maupun tidak langsung oleh negara dan masyarakat, baik terhadap sendi-sendi pertahanan (state security) seperti kondisi keamanan wilayah/teritorinya itu sendiri sebagai penciri kedaulatan negara, maupun terhadap dimensi-dimensi manusia atau individu (human security) seperti kondisi kesejahteraan dan keamanan dari masyarakatnya itu sendiri.

Oleh karena itu, untuk menyikapi berbagai persoalan di wilayah-wilayah perbatasan perlu dirumuskan model pembangunan wilayah perbatasan yang mengacu pada pendekatan kesejahteraan (human security) dan pendekatan keamanan (state security) dalam konteks keamanan nasional. Perpaduan kedua pendekatan ini terutama terletak pada arah kebijakan, strategi dan rencana program implementasi pembangunan wilayah perbatasan. Kesejahteraan tidak dapat tercapai tanpa adanya dukungan keamanan yang dalam hal ini tidak hanya terfokus pada keamanan negara, namun juga keamanan manusia dalam satu kesatuan yang utuh sebagai keamanan nasional. Sebaliknya, keamanan di semua aspek tidak dapat tercapai tanpa adanya kesejahteraan di bidang sosial ekonomi. Dalam pemanfaatan sumber daya wilayah perbatasan tidak hanya menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru bagi negara tetangga, tetapi juga menciptakan aktivitas ekonomi dan pembangunan daerah yang nyata di wilayah perbatasan Indonesia. Kompensasi lainnya dari pemanfaatan wilayah perbatasan oleh negara tetangga adalah dalam bentuk keuntungan langsung kepada masyarakat. Dalam hal ini, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh negara tetangga seharusnya mempunyai dampak ekonomis yang langsung dan nyata kepada masyarakat perbatasan. Dampak inilah yang disebut dengan trickle down effect, di mana terjadi penyebaran kesejahteraan kepada masyarakat perbatasan.

Berdasarkan kesimpulan di atas, rekomendasi kebijakan dan strategi pembangunan wilayah perbatasan dengan pengembangan paradigma tentang wilayah perbatasan sebagai halaman/beranda/teras/pintu gerbang depan NKRI. Pembuatan rencana induk pengembangan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan yang didukung pendekatan keamanan, memperhatikan kearifan lokal dan melibatkan seluruh agen pembangunan. Perwujudan komitmen politik tentang pembangunan wilayah perbatasan untuk masing-masing sektor secara simultan. Pembangunan wilayah perbatasan menjadi prioritas seluruh instansi di tingkat pusat dan daerah.

Penataan peraturan perundang-undangan dan kewenangan setiap institusi guna mencapai sinergitas pembangunan di wilayah perbatasan. Pelaksanaan otonomi daerah perlu diiringi sinkronisasi kewenangan dan peraturan-peraturan yang dibuat, baik pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini untuk menghindari tumpang tindih kewenangan pengelolaan maupun ketidaksinkronan peraturan yang ada. Selain itu, diperlukan adanya basis data (database) mengenai wilayah perbatasan yang dapat menjadi referensi bersama. Upaya ini perlu dilakukan untuk memudahkan terjadinya pertukaran informasi antara instansi terkait sehingga meningkatkan koordinasi serta menciptakan kesepahaman yang sama dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Pembentukan dan penetapan badan pengelola wilayah perbatasan sesuai semangat otonomi daerah, yang berfungsi mengkoordinasikan, mensinergikan dan mengakselerasi percepatan pembangunan di wilayah perbatasan.

Pemanfaatan sumber daya wilayah perbatasan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pengalokasian anggaran khusus di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota yang memadai untuk pembangunan wilayah perbatasan secara rutin. Penguatan ekonomi lokal melalui pemberian bantuan modal pada UKM di kawasan-kawasan prioritas. Penetapan prioritas pembangunan infrastruktur komunikasi dan transportasi (darat, laut/sungai, dan udara), prasarana dasar sosial, seperti prasarana kesehatan, pendidikan dan keagamaan. Peningkatan kerukunan antaretnis dan antarkelompok beragama. Pembangunan jaring pengaman sosial penduduk wilayah perbatasan. Peningkatan upaya sosialisasi terkait peningkatan wawasan kebangsaan.

Percepatan program sabuk pengaman (safety belt) di wilayah perbatasan yang terpadu dan terarah. Dukungan sarana transportasi yang mampu menembus medan sulit di darat akan sangat membantu tercapainya keberhasilan pengamanan perbatasan. Dengan terbukanya jalur transportasi tentunya akan membuka juga peluang untuk perputaran roda perekonomian masyarakat setempat. Pemenuhan alat komunikasi yang mampu mengatasi situasi dan kondisi geografis yang sulit untuk memonitor kondisi keamanan wilayah-wilayah perbatasan, sehingga transfer informasi dapat berjalan dengan cepat dan akurat. Dengan demikian apabila terjadi hal-hal yang dapat membahayakan stabilitas keamanan nasional maka dapat diambil langkah-langkah yang cepat, tepat dan akurat serta mengurangi kemungkinan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Dengan dibuatnya jalan-jalan pendekat akan meningkatkan eksistensi dan kemampuan pos di wilayah perbatasan untuk melaksanakan pengamanan dengan didukung sarana yang memadai dan secara tidak langsung akan dapat meningkatkan kehidupan perekonomian masyarakat.

Pembangunan dan penempatan satuan pengamanan sesuai dengan strategi pertahanan. Pemetaan batas wilayah darat dan laut antarnegara yang diarahkan untuk memperoleh titik-titik koordinat batas negara di darat dan di laut guna mewujudkan kepastian garis batas wilayah perbatasan secara de facto dan de jure. Pengalokasian anggaran yang memadai bagi pembiayaan operasi pengamanan wilayah perbatasan. Penyiapan personel secara profesional melalui pendidikan dan latihan yang berkelanjutan serta pembekalan pengetahuan hukum dan HAM di jajaran aparat keamanan. Peningkatan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat dalam pemberdayaan wilayah pertahanan. Peningkatan keamanan dan ketertiban serta penanggulangan kriminalitas melalui koordinasi dan kerja sama antarlembaga. Peningkatan kemampuan satuan intelijen untuk melaksanakan deteksi dini.

Peningkatan kesadaran hukum masyarakat di wilayah perbatasan. Sebagian besar wilayah perbatasan merupakan hutan konservasi dan suaka alam serta kawasan konservasi laut yang perlu dilindungi. Untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan kerugian negara secara ekonomi akibat perusakan lingkungan seperti eksploitasi ikan dan pasir laut secara tak terkendali, penebangan hutan secara ilegal, dan berbagai aktivitas lainnya, perlu dilakukan upaya penegakan hukum secara tegas kepada pelaku pelanggaran hukum. Penegakan hukum tidak hanya dilakukan kepada para operator lapangan, namun juga kepada aparat birokrasi maupun aparat keamanan yang mendukung berlangsungnya kegiatan ilegal tersebut. Penyelesaian sengketa melalui adat setempat oleh pemerintah daerah dengan mengacu kepada perjanjian perbatasan kedua negara.

Peningkatan kerja sama pembangunan antarnegara perbatasan di bidang ekonomi, sosial budaya, keamanan, maupun riset dalam rangka pengembangan wilayah perbatasan sangat penting dan perlu diprioritaskan. Salah satu bentuk kerja sama bidang keamanan yang perlu diprioritaskan untuk segera dilaksanakan adalah penetapan batas negara yang belum jelas di beberapa wilayah dan patroli keamanan bersama. Bentuk kerja sama lain adalah meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi yang pada masa lalu telah dikembangkan melalui kerja sama regional ASEAN, kerja sama ekonomi sub-regional seperti IMT-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, AIDA serta berbagai kerja sama bilateral.

Daftar Pustaka
Anggoro, Kustanto. 2001. Eskalasi Konflik, Pegelolaan Konflik dan Penggunaan Kekuatan Militer. Jakarta: Bahan Lokakarya Dewan Ketahanan Nasional.
_______________. “Paradigma Keamanan Nasional dan Pertahanan Negara di Negara Demokratis”. Dalam Rusdi Marpaung, dkk., ed. 2005 Dinamika Reformasi Sektor Politik. Jakarta: Imparsial, The Indonesian Human Rights Monitor.
Bainus, Arry. “Hubungan Sipil Militer serta Konsepsi Pertahanan dan Keamanan di Indonesia”. Dalam Jurnal Governance. Volume 1, No.2, April-Juni 2005. Bandung: Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah.
Baylis, John. 2005. “International and Global Security in the Post-Cold War Era”. Dalam John Baylis and Steve Smith. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. 3rd ed.. New York: Oxford University Press.
Buzan, Barry. 1991. People, State, and Fear: An Agenda for International Security Studies in The Post-Cold War Era. New York: Harverster Wheatsheaf.
Buzan, Barry, Ole Weaver and J. De Wilde. 1998. Security. A New Framework for Analysis. Boulder and London: Lynne Rienner.
Clark, Ian. 1999. Globalization and International Theory. New York. Oxford University Press.
Hoadley, Stephen, and Juergen Rueland, eds. 2006. Asian Security Reassessed. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Hough, Peter. 2004. Understanding Global Security. New York: Routledge.
Jackson, Robert and Georg Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press.
MacFarlane, S. Neil, and Yuen Foong Khong. 2006. Human Security and the UN. A Critical History. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Snow, Donald M. 2004. Nationa; Security for a New Era. Globalization and Geopolitics. New York et al.: Pearson Longman.

[1] John Baylis. 2005. “International and Global Security in the Post-Cold War Era”. Dalam John Baylis and Steve Smith. 2005. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations (3rd ed.). New York: Oxford University Press. Hlm. 302.
[2] Baylis. 2005. Ibid. Hlm. 313.
[3] Ian Clark. 1999. Globalization and International Theory. New York. Oxford University Press. Hlm. 125.
[4] Buzan, Barry. 1991. People, State, and Fear: An Agenda for International Security Studies in The Post-Cold War Era. New York: Harverster Wheatsheaf.
[5] Buzan. 1991. Ibid. Hlm. 5.
[6] Buzan. 1991. Ibid. Hlm. 116-133.
[7] Peter Hough. 2004. Understanding Global Security. New York: Routledge.
[8] United Nations Development Programme. http//www.undp.org/., diakses pada [07/07/07]
[9]“New Dimension of Human Development” (UNDP Report, 1994) melalui [http://www.undp.org/hdro/ 94.htm] diakses pada., [07/07/07].
[10] Robert Jackson and Georg Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press. Hlm. 209.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

pak,saya mega dari HI universitas fajar_makassar,minta ijin bapak untuk menjadikan tulisan bapak sebagai salah satu referensi saya di pokok bahasan keamanan internasional.terimakasih sebelumnya pak.

Anonim mengatakan...

pak tulisan nya bagus banget,
sedikit saran..layoutnya kurang bagus deh pak..terlalu sempit..jadi agak kurang enak baca nyaa..jadi terlalu panjang kebawah..

Anonim mengatakan...

Pak.... trimakasih, tulisan bapak saya jadikan bahan saya untuk memberikan materi,media saya mengajar. mohon izin dan trimakasih. (setiadin PPs Unpad. Administrasi Publik.

Anonim mengatakan...

tulisannya bagus banget pak, dan lebih bagus lagi jika bahasanya lebih ditujukan ke pemerintah kita sebagai sarana pemikiran dan pertimbangan kebijakan, yang agak provokatif begitu..
Kan anti kemapanan pak.hehe..